Bagaimanakah realita dari sudut pandang
seorang mahasiswa jurusan matematika yang percaya bahwa tidak ada satu
pun fenomena yang terjadi secara kebetulan? Bahwa segala sesuatu terjadi
berdasarkan sebuah model, sebuah skema yang mengikuti teori logika
matematika? Seorang mahasiswa yang percaya bahwa esensi dari alam raya
bersifat matematika, bahwa ada arti yang tersembunyi dibalik sebuah
realita? Ia percaya bahwa untuk memahami rahasia dibalik realita
sehari-hari, manusia perlu mengerti rahasia dibalik angka.
Deskripsi di atas adalah isi dari
interupsi mahasiswa tersebut pada sebuah kuliah umum seorang profesor
matematika bernama Arthur Seldom di universitas Oxford pada tahun 1993.
Kuliah umum dibuka dengan sebuah film yang menggambarkan bagaimana di
tengah desingan peluru Ludwig Wittgenstein menemukan ide yang tertulis
dalam bukunya Tractacus Logico-Philosophicus. Sebuah buku yang mencoba
mencari tahu, mungkinkah manusia mengetahui kebenaran? Wittgenstein
kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada satu kebenaran pun di luar
matematika, lebih tepatnya logika matematika yang mampu memberikan
kepastian yang menihilkan perasaan manusia.
Profesor Seldom sebaliknya mempertanyakan
keampuhan matematika untuk mengerti segala hal karena akan selalu ada
batas tertentu yang tidak bisa ditembus, yang dalam bahasa fisikawan
Heisenberg menjadi teori ketidakpastian. Betul bahwa manusia mencoba
mengerti fenomena jatuhnya salju, bagaimana pertumbuhan salju mengikuti
hukum alam atau bagaimana memahami keindahan dan harmoni dalam pola
gerak kupu-kupu; tapi mampukan manusia memprediksi sebuah hurricane?
Mampukah manusia memahami keindahan dan harmoni dalam sebuah sel kanker
yang membelah diri sedemikian cepat untuk menghancurkan tubuh yang
sehat? Haruskah hidup selalu memiliki arti? Bisakah segala sesuatu
terjadi hanya karena kebetulan? Dalam usaha mencari arti hidup itu….
kebenarankah yang dicari ataukah ini adalah manifestasi dari ketakutan
terdalam manusia? Adakah hukum alam yang mengatur keberadaan empat orang
yang di masa datang akan saling berkaitan di sebuah jalan di Oxford
hampir pada saat yang bersamaan?
Percakapan antara profesor dan mahasiswa
tadi mengisi perdebatan yang mengasikan sepanjang film berjudul Oxford
Murders yang dibintangi oleh Elijah Wood dan John Hurt. Mereka berdua
ditantang untuk mengungkapan rangkaian pembunuhan yang terjadi di Oxford
: mengikuti logika matematikah atau sekedar sebuah kebetulan belaka?
Saya menyukai dan suatu waktu dulu pernah
terpesona pada matematika. Tapi saya sampai pada poin bahwa tidak
segala sesuatu perlu dijelaskan dengan model pembuktian matematika yang
ketat. Seringkali saya merasa bahwa dalam beberapa kasus matematika
telah digunakan tidak pada tempatnya. Sejak dulu saya tidak percaya dan
tidak mengerti (bukan karena hasil tes IQ yang berkisar pada angka 90)
pada model tes IQ yang memberikan angka pada kemampuan intelejensia
seseorang. Saya juga tidak percaya (tanpa bukti matematis) pada
kecenderungan untuk melogiskan perilaku konsumen karena bagi saya
dibalik interdependensi manusia dengan lingkungannya, masih tetap ada
ego, ada sesuatu yang unik pada setiap individu yang tidak bisa
diintervensi. Bukankah setidaknya ada dua kemungkinan untuk mengisi
angka berikutnya dalam deret 2, 4, 8,….: bisa 16 atau 10? Kalau
matematika pun memberikan kemungkinan yang berbeda, bukankah manusia
adalah mahluk yang lebih kompleks untuk bisa dimengerti, untuk bisa
diatur polanya? Pemodelan apa pun yang berkaitan dengan manusia menurut
saya hanyalah sebuah usaha penyederhanaan, pencarian mayoritas yang
tidak mengindahkan adanya minoritas. Kalau dalam matematika ada aksioma,
yang bisa menerima kebenaran tanpa pembuktian, bisakah itu terjadi
dalam hidup manusia sehari-hari?
Mengetahui sampai batas mana matematika
diperlukan untuk menuntun pada kebenaran tidaklah mudah. Matematika
selalu mencoba menerangkan segala sesuatu dalam sebuah fungsi, dengan
angka. Dalam matematika, keberhasilan diukur dari kemampuan untuk
memodelkan sebuah permasalahan secara logis; dalam hemat saya (yang bisa
saja salah karena saya tidak mendalami matematika secara kusus) bahkan
matematika mencoba mematematiskan hal yang tidak (atau belum?)
terjangkau pemikiran dengan sebuah fungsi acak (random). Hal yang
akhir-akhir ini malah membuat saya muak dan ingin berteriak : mengapa
manusia tidak bisa menerima keadaan bahwa ada hal yang tidak bisa, tidak
perlu atau pun tidak mungkin untuk dijelaskan dengan angka? Melenceng
sedikit dari tema tentang matematika, bahasa jerman sebenarnya
memberikan peluang untuk hal-hal yang tak perlu/tak ingin dijelaskan
ini. Ketika saya bertanya mengapa “warum”, ada jawaban “darum”
yang bisa diterjemahkan bebas sebagi “hanya karena”. Herannya, saya
sering kehabisan kata-kata dan menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal
karena pada umumnya orang Jerman selalu bertanya “mengapa” bahkan untuk
sesuatu yang saya tujukan untuk bercanda.
Bercermin pada diri sendiri, sepertinya
akan sulit bagi orang yang terbiasa dengan metode matematis untuk
menerima keadaan ‘beginilah adanya’ dalam kehidupan sehari-hari. Meski
pun saya dapat menerima konsep bahwa ada hal-hal yang tidak perlu/tidak
mungkin diketahui sebab-akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari saya
harus mengakui bahwa itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Saya baru
menyadari bahwa keterpesonaan saya pada matematika telah mempengaruhi
cara saya berpikir, cara saya bertindak dalam relasi personal saya
dengan sekitar. Kadang ketika dihadapkan pada sebuah keputusan, saya
secara tidak sadar telah membuat model ‘seandainya’. Bagaimana bila….,
bila…,konsekuensinya…dan lain-lain. Saya selalu menuntut penjelasan
sampai ke intinya, yang pada beberapa kasus mungkin tidak bisa dicapai
karena begitu banyak faktor yang mempengaruhi suatu kejadian. Seperti
ada adrenalin untuk terus..terus..menyingkap apa yang menurut saya
sebagai kebenaran. Persis seperti karakter ilmu pengetahuan : Manusia
tidak puas untuk mengerti tentang atom dan terus bergerak untuk
mengetahui apa yang membentuk atom dan pada akhirnya mencoba mengungkap
rahasia alam semesta. Ada suatu keasikan tersendiri dalam proses
penelitian ilmu pengetahuan alam yang bisa membawa si peneliti begitu
terhanyut dalam penelitian dan membuka kemungkinan untuk lupa pada
konteks penelitian itu dengan kondisi sosialnya. Mungkin juga, ketika
menyadari kondisi sosialnya, dia dihadapkan kepada sebuah
ketidakberdayaan yang membuat frustasi. Di tempat saya bekerja, kami
harus membayar 1 juta EURO per tahun hanya untuk membayar listrik.
Berulangkali saya bertanya pada diri sendiri, apakah uang sebesar ini
memang harga yang pantas untuk sebuah ilmu pengetahuan sementara di
belahan dunia yang lain, masih ada kelaparan? Saya tidak bisa
menjawabnya, mungkin karena periuk nasi saya ada di sini. Ini adalah
salah satu contoh sederhana bahwa segala hal tentang manusia selalu ada
bagian yang subjektif, tergantung kondisi personal dan sosial seseorang.
Kembali ke film di atas, di akhir cerita
digambarkan bagaimana si mahasiswa hanya bisa menerawang ketika tanpa
disadarinya justru kata-kata yang ke luar dari mulutnyalah yang memulai
rangkaian peristiwa sepanjang film tersebut. Mungkin ini hanyalah
ilustrasi dalam sebuah film, tapi bukankah ini benar : ketika kata-kata
diucapkan, ketika kata-kata dituliskan dan kemudian didengar dan dibaca
orang lain, kita tidak pernah tahu, tidak pernah bisa mengukur secara
pasti bagaimana kata-kata ini akan mempengaruhi si pendengar, si
pembaca? Dalam hal ini saya sangat yakin, bahwa matematika tidak perlu
digunakan untuk mencari tahu, tetapi nikmati saja kejutan-kejutan yang
mungkin terjadi. Saya berhayal, pada saat menjelang ajal-lah kebenaran
tentang hidup baru bisa dipahami secara utuh.
Karlsruhe, ditulis tanggal 12 Juli 2009
di kutip dari : http://darmadewi.wordpress.com/2009/11/20/matematika-sejauh-mana-logika-mampu-menuntun-manusia-pada-kebenaran-sejati/